Batas-batas Kebebasan Ekspresi Seni dan Budaya


Berita yang sangat mengejutkan (kalau tidak boleh dikatakan menyakitkan) setiap hati Muslim yang beriman, khususnya bangsa Negeri Para Mullah, Iran. Bagaimana tidak, seorang wanita cantik, yang lahir dan merupakan keturunan orang Parsi, menelanjangi dirinya demi untuk kebebasan ekspresi seni dan budaya. Dia bernama Gulshifteh Farahani. Sebagaimana terberitakan di dunia maya, surat Kabar seperti Jawa Pos, wanita cantik ini main film dengan aktor kenamaan, Leonardo DiCaprio, pemain film berkebangsaan Prancis.

Dalam film yang dibintanginya, Farahani beradegan telanjang, dengan menutupkan tangannya di bagian dada, dsb. Sebagai reaksi kebebasan seni dan budaya dalam perfileman Barat ini, Presiden Iran Mahoud Ahmadinejad dan pemerintah Iran mencekal Farahani, dan melarangnya untuk kembali ke Negera Iran. Karena artis seperti dia, yang menjual tubuhnya, secara normative bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, tidak layak kembali ke Negeri Mullah tersebut.
Secara terbuka Farahani menyatakan bahwa aksinya yang sedemikian adalah untuk menentang tirani Negara yang sangat ketat tersebut. Farahani menentang Negara Iran karena tidak adanya ruang kebebasan untuk mengekspresikan seni seperti di Prancis. Akhirnya dia berani mengambil keputusan untuk tidak kembali ke Iran, disamping juga karena sudah dicekalnya.
Peratanyaannya sekarang adalah, di mana batas kebebasan mengekspresikan kesenian dan kebudayaan? Adakah kebebasan seperti yang diperjuangkan Farahani ini sesuai dengan nilai-nilai manusiawi? Benarkan Iran sebagai Negara melarang dan mencekal warga Negaranya yang dianggap melanggar etika tersebut?
Pertama: sebenarnya kebebasan mengekspresikan seni dan budaya harus dibatasi. Karena di dalam diri manusia ada nafsu yang bisa menilai sesuatu di luar batas kemanusiaan. Contoh, manusia yang diberi akal akan menjadi seperti binatang, sebagaimana kasus di atas, ketika dia mengatakan bahwa ini adalah kebebasan. Coba renungkan, ketika melihat manusia yang dimuliakan dengan dengan akal dan hati, mengapa harus bertelanjang hanya karena kebebasan. Orang yang sehat pasti akan berpikir bahwa perbuatan sedemikian ini tidak baik, bahkan buruk. Sungguh pun itu dalam cover seni dan budaya.
Kedua: jelas, tindakan eksperesi kesenian sebagaimana yang dilakukan Farahani, dengan telanjang dalam adegan film tersebut keluar dari nilai-nilai manusia. Kalau kita hendak merenung, dan mau mempertanyakan, apa bedanya sapi, kambing, ayam, dsb jika manusia harus juga telanjang seperti mereka? Bukankah manusia mempunyai akal dan pikiran, hati dan perasaan yang bisa membedakan, mana perbuatan manusiawi, dan mana yang hewani.
Ketiga: sebagai seorang Muslim, dan apalagi sebagai pemimpin Negara, Mahmoud Ahmadinejad benar dan tepat. Karena secara moral, beliau akan diminta pertanggungjawaban atas warga Negara yang sedemikian itu. Dalam bahasa fiqh, larangan kembali ke Negara Iran ini adalah ta’zir yang sudah cukup, bahkan bisa diberi sanksi sosial dan sanksi moral yang lebih dari itu.
Tetapi ada yang lebih penting dari ta’zir semacam ini. Yaitu doa. Rasululah SAW ketika melihat kaumnya yang menyakiti beliau, langsung berdoa memohonkan petunjuk untuk orang yang belum dapat hidayah seperti Farahani tersebut. Nabi Isa a.s. juga menyuruh Israil untuk mendoakan agar dapat petunjuk untuk orang yang berbuat aniaya kepadanya; tidak perlu membalasnya dan menindaknya dengan cara kekerasan.
 Demikian halnya kebebasan-kebebasan lain yang sering digembar-gemborkan bangsa Indonesia ini. Coba bayangkan, misalnya di Indonesia ini dibebaskan hubungan seks, apa yang akan terjadi. Bagaimana cara menentukan nasab, ini anak siapa, itu bapak siapa, yang ini ibu siapa dan lain sebagainya? Begitu juga yang mengarah pada kebebasan seperti ini. Tanpa berpikir secara agama pun, kebebasan yang seperti yang dibicarakan dalam tulisan ini sudah bisa dibatasi, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar